Toleransi adalah istilah dalam konteks sosial, budaya dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang
melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda
atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat. Contohnya
adalah toleransi beragama, dimana penganut mayoritas dalam suatu masyarakat
mengizinkan keberadaan agama-agama lainnya Istilah toleransi juga digunakan dengan
menggunakan definisi "kelompok" yang lebih luas, misalnya partai politik, orientasi seksual, dan lain-lain. Hingga saat ini masih banyak
kontroversi dan kritik mengenai prinsip-prinsip toleransi, baik dari kaum liberal maupun konservatif.
Membangun
Toleransi
Toleransi yang selama ini kita pahami adalah menghargai seseorang
berdasarkan Hak Asasi Manusianya, hanya saja hal ini menjadi bias kalau kita
tidak memiliki fondasi dalam aplikasi dari toleransi ini. Selain itu, kita
terbuai dengan hal-hal formal yang sering menguntungkan pihak-pihak tertentu
saja—hanya orang yang memegang kekuasaan atau memiliki dollar lebih yang bisa
mendapatkan toleransi, yang kemudian kita dihadapkan pada masalah tanpa esensi.
Selama ini kita kehilangan pijakan dalam memanifestasikan toleransi ini dalam
kehidupan bermasyarakat. Inilah mengapa kita perlu mematrikan ketiga unsur
penting sebagai landasan, hal itu adalah Agama, Adat dan Aturan Formal. Ketiga
hal inilah yang mungkin digambarkan oleh Ahmad Wahib dalam kalimatnya “Aku bukan nasionalis, bukan katolik, bukan sosialis.
Aku bukan buddha, bukan protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis, aku
bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut muslim.
Aku ingin bahwa orang memandang dan menilaiku sebagai suatu kemutlakan tanpa
manghubung-hubungkan dari kelompok mana saya termasuk serta dari aliran apa
saya berangkat”. Kita dihadapkan pada suatu peningkatan kualitas diri secara universal untuk dapat mematrikan sekaligus melaksanakan toleransi dalam kehidupan bermasyarakat—karena apa yang ada, baik disetiap ajaran agama, Adat, maupun aturan-aturan formal pada hakekatnya adalah untuk membawa pada kehidupan madani tanpa menseparatiskan seseorang atau sekelompok orang. Ini adalah landasan awal dari setiap perbuatan yang mengatasnamakan toleransi dan hal-hal baik lainnya.
Seharusnya musuh dan hal yang paling tidak patut kita kaitkan dengan toleransi adalah tentang sesuatu yang mudarat—kalau sekarang kita dihadapkan pada kasus korup, maka hal itulah yang sangat tidak patut mendapat toleransi, karena efeknya mencakup kemaslahatan masyarakat. Hal ini tentunya membutuhkan pengertian bahwa setiap manusia yang ada di Negara ini harus terus meningkatkan kualitas hidup—yang kaya membantu meningkatkan kualitas hidup yang miskin, yang memiliki pendidikan tinggi menularkan kepintarannya, yang memiliki kekuasaan tidak berpikiran untuk melanggengkannya sampai akhir hayat. Seperti yang dituliskan oleh ahmad wahib bahwa “Bagiku dalam bekerja itu harus terjamin dan diperjuangkan dua hal : Penghasilan harus meningkat dan Pengalaman dan pengetahuan harus terus bertambah”. Semua didasarkan pada peningkatan kehidupan manusia.
Membangun toleransi ini sendiri tidak akan berjalan tanpa pemahaman dan prinsip kepercayaan yang harus mulai dibangun. Terlalu naïf rasanya kalau kita mengimpikan bangsa besar ini akan berkembang kalau hal tersebut di atas tidak dilakukan—karena keadaan kritis yang terjadi di Indonesia saat ini merupakan akibat dari hilangnya kepercayaan dan dukungan bahwa Indonesia dapat mencapai “adil dan makmur”.
Toleransi sebagai Nilai dan Norma
Toleransi dalam pengertian yang telah disampaikan, yang
merupakan keyakinan pokok (akidah) dalam beragama, dapat kita jadikan sebagai
nilai dan norma. Kita katakan sebagai nilai karena toleransi merupakan gambaran
mengenai apa yang kita inginkan, yang pantas, yang berharga, yang dapat
mempengaruhi perilaku sosial dari orang yang memiliki nilai itu.
Dan nilai (toleransi) akan sangat mempengaruhi kebudayaan dan
masyarakat. Demikian juga toleransi, dapat kita jadikan suatu norma, yaitu
suatu patokan perilaku dalam suatu kelompok tertentu. Norma memungkinkan
seseorang menentukan terlebih dahulu bagaimana tindakannya itu akan dinilai
orang lain untuk mendukung atau menolak perilaku seseorang.
Karena toleransi sudah kita jadikan nilai dan norma, dan juga
menyangkut sifat dan sikap untuk menghargai pendirian, pendapat, pandangan,
kepercayaan, kebiasaan dan kelakuan, dan lain-lain yang berbeda bahkan
bertentangan dengan pendirian sendiri, maka sifat dan sikap sebagai nilai dan
norma itu mesti disosialisasikan. Maknanya, ialah proses memelajari norma,
nilai, peran, dan semua persyaratan lainnya yang diperlukan untuk memungkinkan
partisipasi yang efektif dalam kehidupan sosial.
Sifat dan sikap toleran ini perlu disosialisasikan, agar setiap
individu mampu mengamalkan dalam kehidupan nyata di masyarakat luas. Dalam
lingkungan keluarga, kehidupan yang toleran harus disosialisasikan sejak dini
terhadap anggota keluarga (anak-anak). Dan inilah yang menjadi sosialisasi
dasar dalam kehidupan umat manusia, yang dari padanya dikembangkan sosialisasi
lebih lanjut sebagai follow-up.
Hidup beragama yang toleran sekaligus menjadi sikap dasar dalam
kehidupan sosial masyarakat, yang selalu disosialisasikan dalam tingkat rumah
tangga, merupakan sosialisasi primer, dan sosialisasi sekunder terjadi sesudah
sosialisasi primer itu terjadi. Dan sesungguhnya sosialisasi primer itu
merupakan dasar bagi sosialisasi sekunder. Jika yang berperan dalam sosialisasi
primer adalah seluruh keluarga dalam rumah tangga, maka yang berperan dalam
sosialisasi sekunder adalah luar rumah tangga, yang dalam kehidupan sekarang
ini adalah arena pembelajaran sekolah.
Di sekolah kita mendapatkan bekal pengetahuan, kemampuan untuk
berpikir, kemampuan untuk dapat hidup dalam kehidupan sosial yang lebih luas,
mengenal negara, undang-undang, aturan agama dan kehidupan antarbangsa dan
lain-lain. Setelah pembelajaran formal di bangku sekolah selesai, sosialisasi
sekunder masih terus dilakukan dalam kehidupan yang lebih luas, kita harus
menyesuaikan diri dengan berbagai norma dalam kelompok kerja maupun masyarakat.
Ternyata sosialisasi terhadap sikap hidup toleran dalam berbagai
bidang kehidupan (agama dan lain-lain), baik primer maupun sekunder,
berlangsung seumur hidup karena kehidupan kita umat manusia dari hari ke hari
adalah kehidupan yang ditandai oleh penambahan pengetahuan, dan untuk itu kita
harus terus belajar, dan berusaha mencari sesuatu yang baru dalam kehidupan
berpengetahuan. Itulah maknanya bahwa sosialisasi terhadap kehidupan toleran
itu merupakan proses yang tak henti-hentinya, dan terus mencari dan mendapatkan
yang lebih baik. Terus berlangsung seumur hidup umat manusia.